Jika Suami Tidak Menafkahi Istri yang Penghasilannya Lebih Besar ?

Apakah tidak memberikan nafkah kepada istri yang lebih mampu secara ekonomi daripada suaminya, termasuk penelantaran keluarga?

 

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini kami berasumsi, nafkah yang Anda maksudkan adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami untuk belanja hidup keluarganya (penjelasan selengkapnya baca Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah).

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Istilah penelantaran dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT yang berbunyi:

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

 

Dari definisi kekerasan dalam rumah tangga di atas dapat kita ketahui bahwa istilah yang dikenal dalam UU PKDRT adalah penelantaran rumah tangga, bukan penelantaran keluarga seperti yang Anda tanyakan. Oleh karena itu, untuk menguraikan jawaban kami selanjutnya kami akan menggunakan istilah penelantaran rumah tangga.

Penelantaran rumah tangga merupakan salah satu larangan yang termasuk lingkup dari kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 UU PKDRT:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.”
 

Kemudian, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

 

Apakah suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dapat dikategorikan sebagai penelantaran rumah tangga? Untuk menjawab hal ini kita merujuk pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UU Perkawinan”)yang berbunyi:

“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.”

 

Selain itu, kita juga dapat merujuk pada ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

a.    nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b.    biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

c.    biaya pendidikan bagi anak.

Jadi, melihat dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa seorang suami secara hukum wajib memberikan nafkah kepada orang dalam lingkup rumah tangganya, yakni istri dan anaknya. Berapa besar nafkah yang harus diberikan suami kepada istri dan anaknya? Menurut UU Perkawinan yaitu sesuai dengan kemampuannya, dan menurut KHI yaitu sesuai dengan penghasilannya. Sehingga, jika suami meninggalkan atau tidak melakukan kewajibannya tersebut, menurut kami, dia dapat dianggap melakukan penelantaran rumah tangga. Karena baik UU Perkawinan maupun KHI tidak memandang apakah penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suaminya.

Berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT, orang yang melakukan penelantaran rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).


 

 

Leave a comment